Kamis, 03 Februari 2011

system tanam paksa

BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Setelah pemerintahan Hindia Belanda digantikan oleh pemerintahan Inggris, yaitu pada tahun 1811, Inggris mulai menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Pada masa pemerintahan Inggris yang paling terkenal adalah masa pemerintahan Raffles. Masa pemerintahan Inggris terbilang cukup singkat yaitu hanya lima tahun terhitung mulai tahun 1811 sampai dengan 1816.

Tujuan utama Raffles adalah untuk mengembangkan kekuasaan Inggris. Kebijakan Rafles yang terkenal adalah sistem sewa tanah, yaitu sistem pertanian dimana para petani atas kehendaknya sendiri menanam dagangan (cash crops) yang dapat diekspor keluar negeri.

Setelah pemerintahan Inggris berakhir, yaitu pada tahun 1816, Indonesia kembali dikuasai oleh Pemerintahan Hindia-Belanda. Pada masa ”kedua” penjajahan ini, yang sangat terkenal adalah sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Van den Bosch. Pelaksanaannya pun dimulai pada tahun 1830. Terdapat ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Namun pada akhirnya, dalam praktek sesungguhnya terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan.

Terdapat perbedaan antara penerapan sistem sewa tanah yang dilaksanakan oleh Raffles serta sistem tanam paksa yang dilaksanakan oleh Van den Bosch. Keduanya membawa dampak yang tidak sedikit bagi kehidupan gangsa Indonesia.



B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang yang ada di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan, yaitu:

1. Latar belakang pelaksanaan sistem sewa tanah, tujuan pelaksanaannya, serta kegagalan pelaksanaan sistem sewa tanah oleh Raffles.

2. Latar belakang pelaksanaan sistem tanam paksa, pelaksanaan sistem tanam paksa, serta penghapusan (dampak) tanam paksa.

3. Apa perbedaan sistem sewa tanah dan sistem tanam paksa, di lihat dari faham yang mendasari, perangkat pemerintahan pelaksana, kedudukan dan pola kerja rakyat, serta tanaman dan sistem perdagangannya?





BAB II

SISTEM SEWA TANAH DAN

SISTEM TANAM PAKSA



A. Sistem Sewa Tanah

1. Latar Belakang

Sistem sewa tanah dijalankan oleh Inggris, yaitu pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Stamford Raffles. Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan kolonial yang baru, Raffles ingin berpatokan pada tiga azas, antara lain:

a. Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam;

b. Peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai gantinya mereka dijadikan bagian integral dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pememrintahan yang sesuai, perhatia mereka harus terpusat pada pekerjaan-pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

c. Para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa tanah milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah.



Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas, yaitu:

a. Kelas I, yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil bruto;

b. Kelas II, yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga dari hasil bruto;

c. Kelas III, yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.

2. Tujuan Sistem Sewa Tanah

Pelaksanaan sistem sewa tanah yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles mengandung tujuan sebagai berikut:

a. Para petani dapat menanam dan menjual hasil panennya secara bebas untuk memotovasi mereka agar bekerja lebih giat sehingga kesejahteraannya mejadi lebih baik;

b. Daya beli masyarakat semakin meningkat sehingga dapat membeli baranng-barang industri Inggris;

c. Pemerintah kolonial mempunyai pemasukan negara secara tetap;

d. Memberikan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki petani;

e. Secara bertahap untuk mengubah sistem ekonomi barang menjadi ekonomi uang.



Perubahan-perubahan yang terjadi dengan dilaksanakannya sistem sewa tanah, dapat dikatakan revolusioner karena mengandung perubahan azasi, yaitu unsur paksaan yang sebelumnya dialami oleh rakyat, digantikan dengan unsur sukarela antara pemerintah dan rakyat. Jadi, perubahan ini bukan hanya semata-mata perubahan secara ekonomi, tetapi juga perubahan sosial-budaya yang mengantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional dengan ikatan kontrak yang belum pernah dikenal.[1] Yaitu, digantikannya sistem tradisional yang berdasarkan atas hukum feodal, menjadi sistem ekonomi yang didasarkan atas kebebasan. Secara singkat perubahan tersebut, antara lain:

a. Unsur paksaan digantikan dengan unsur bebasm sukarela;

b. Ikatan yang didasarkan pada ikatan tradisional, diubah menjadi hubungan yang berdasarkan perjanjian;

c. Ikatan adat-istiadat yang telah turun-temurun menjadi semakin longgar, akibat pengaruh barat.





3. Kegagalan Sistem Sewa Tanah

Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilaksanakanan oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles, menemui beberapa kegagalan. Dalam melaksanakan sistem sewa tanah tersebut, Jenderal Stamford Raffles menemui banyak hambatan-hambatan yang berakibat gagalnya system sewa tanah. Hamatan-hambatan yang dihadapinya antara lain:

a. Keuangan negara dan pegawai-pegawai yang cakap jumlahnya terbatas;

b. Masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat India yang sudah mengenal perdagangan ekspor. Masyarakat Jawa pada abad IX masih bertani untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan belum banyak mengenal perdagangan;

c. Sistem ekonomi desa pada waktu itu belum memungkinkan diterapkannya ekonomi uang;

d. Adanya pejabat yang bertindak sewenang-wenang dan korup;

e. Pajak terlalu tinggi sehingga banyak tanah yang tidak digarap.



B. Sistem Tanam Paksa (Culturstelsel)

1. Latar Belakang Tanam Paksa

a. Motif Tanam Paksa

Pelaksanaan sistem tanam paksa (culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha Pemerintah Hindia Belanda dalam memperbaiki keungan di Hindia Belanda. Usaha tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan dagang dengan pihak Inggris. Apalagi setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819, menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia Tenggara. Untuk kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi dalam perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama bagi Belanda.

Selain itu, di negeri Belanda sendiri pecah Perang Belgia pada tahun 1830. Perang ini berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keruntuhan keuangan Belanda. Di Indonesia, Belanda juga mendapatkan serangan, yaitu Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi.



b. Ciri dan Ketentuan Sistem Tanam Paksa

Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka.[2] Pada hakikatnya sistem taman paksa ini adalah penerapan kembali sistem penanaman wajib yang berlaku di Parahyangan selama 1810-1830.

Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22, lebih kurang 4 tahun setelah pelaksanaan sistem tanam paksa.[3] Ketentuan pokok sistem tanam paksa, antara lain:

1) Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagiandari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlia dari seluruh sawah desa;

2) Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak;

3) Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri;

4) Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang.. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor;

5) Terdapat pembagian tugas yang jelas, yaitu ada yang bertugas menanam saja, ada yang memungut hasil, ada yang bertugas mengirim hasil ke pusat, dan ada yang bekerja di pabrik. Pembagian ini bertujuan untuk menghindari agar tidak ada tenaga yang harus bekerja sepanjang tahun terus-menerus;

6) Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah;

7) Bagi para penduduk yang tidak mempunyai tanah akan dipekerjakan pada perkebunan milik pemerintah selama 65 hari dalam setahun;

8) Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas.



2. Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa

a. Penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa

Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, ketentuan yang sudah dibuat berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan. Terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain:

1) Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka;

2) Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk Culturstelsel adalah seperlia sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah.[4]

3) Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun;[5]

4) Orang yang dipekerjakan berasal dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya, padahal manakan harus disediakan sendiri;

5) Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian;

6) Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah;

7) Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak;[6]

8) Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam; tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksima;

9) Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.



b. Luas penanaman dan jenis tanaman

Tanah yang dipergunakan untuk kepentingan tanam paksa sebenranya tak pernah mencakup seluruh tanah pertanian yang ada di Jawa. Paling luas pada tahun 1845 hanya menempati sekitar 5% dari seluruh tanah pertanian dan seperlima dari persawahan yang ada. Sekalipin areal yang digunakan relative terbatas, namun sistem tanam paksa mempengaruhi seluruh karakter sistem administrasi kolonial.

Pembagian luas tanah untuk penanaman paksa menurut jenis tanaman dalam tahun 1833[7]:





Jenis Tanaman


Luas Tanah (dalam bahu)

Tebu


32,722

Nila (indigo)


22,141

Teh


324

Tembakau


286

Kayu Manis


30

Kapas


5



Jenis tanaman pokok yang harus ditanam pada lahan yang telah ditentukan, antara lain kopi, tebu, teh, dan nila. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kedua tanaman eksport yang terpenting adalah tebu dan nila (indigo)



3. Penghapusan Sistem Tanam Paksa

Dampak Sistem Tanam Paksa

Jika kita melihat dampak tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosc, maka pihak Belandalah yang mendapatkan dampak keuntungan dari dilaksanakannya sistem ini. Sedangkan yang diterima oleh bangsa Indonesia sendiri hanya semakin merosotnya kesejahteraan hidup. Namun dari sekian bnayak dampak negatif, masih terdapat dampak postif yang dirasakan oleh bangsa Indonesia meskipun hal tersebut terlalu dipaksakan.

1). Bagi Belanda

§ Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa;

§ Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan;

§ Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.



2). Bagi Indonesia

§ Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan;

§ Beban pajak yang berat

§ Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen;

§ Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana;

§ Jumlah penduduk Indonesia menurun;

§ Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru;

§ Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.




BAB III
Perbedaan Sistem Sewa Tanah dan

Sistem Tanam Paksa



A. Sistem Sewa Tanah

a. Faham yang Mendasari

Gagasan dan cita-cita Liberal adalah hasil pengaruh dari Revolusi Perancis yang dibawa Sir Thomas Stamford Raffles ke Indonesia yakni prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan dinilai membawa kehidupan rakyat lebih baik. Kebebasan, Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi yang bebas dari unsur paksaan, penyerahan wajib dan kerja rodi pada masa VOC. Raffles ingin memberikan kepastian hukum tentang posisi para petani dan rakyat serta kebebasan ber usaha dalam menanam tanaman dan perdagangan. Menurutnya sistem paksaan masa VOC telah mematikan daya usaha rakyat Indonesia sehingga tidak banyak keuntungan yang diperoleh VOC.

Oleh sebab itu masa Raffles diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman yang dikehendaki. Selain itu terdapat prinsip persamaan dalam hal ini peranan bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai gantinya mereka dijadikan bagian yang integral dari pemerintah kolonial dengan asas-asas pemerintahan model negeri barat. Pemusatan pada pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Sedangkan dasar kebijakan Raffles yakni berdasarkan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, para petani sebagai penyewa milik pemerintah. Untuk penyewaan diwajibkan membayar sewa tanah berupa mata uang yang telah ditentukan. Sehingga diharapkan produksi pertanian akan bertambah dengan rangsangan penanaman tanaman perdagangan, serta pajak yang diterima oleh pemerintah akan bertambah dan menjamin arus pendapatan Negara yang stabil.

Pengenalan sistem administrasi Eropa yang efektif mengenai kejujuran, ekonomi, dan keadilan merupakan dasar perubahan sosial budaya kehidupan masayarakat Jawa dicontohkan menggantikan ikatan adat tradisional dengan ikatan kontrak, dihapuskannya peranan bupati sebagai pemungut pajak, dapat dikatakan dari pemerintahan tidak langsung menjadi pemerintahan langsung. Raffles dalam melaksanakan cita-citanya tidak melihat situasi dan kondisi Tanah Jawa, secara pandangannya disamakan antara Jawa dengan India. Hal ini membuat ketidak berhasilan sistem.



b. Pelaksana Sistem Sewa Tanah

Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles, yang banyak menghinpun gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada.

Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggungjawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. Sewa ini pada mulanya dapat dibayar dalam bentuk uang atau barang, tetapi dalam perkembangan selanjutnya lebih banyak berupa pembayaran uang. Pengalaman dan pelaksanaan sewa tanah ini, oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles sangat dipengaruhi oleh pengalaman penerapan perkembangan perekonomian colonial pada masa penguasaan Inggris di India. Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan, dan dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati.

Kepada para petani, Gubernur Jenderal Stamford Rafflesingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut. Kebijakan Gubernur Jenderal Stamford Rafflesini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan semboyannya mengenai “Libertie (kebebasan), Egaliie (persamaan), dan Franternitie (persaudaraan)”. Hal tersebut membuat sistem liberal diterapkan dalam sewa tanah, di mana unsur-unsur kerjasama dengan raja-raja dan para bupati mulai diminimalisir keberadaannya.

Sehingga hal tersebut berpengaruh pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di mana Gubernur Jenderal Stamford Raffles banyak memanfaatkan colonial (Inggris) sebagai perangkat (struktur pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian sewa tanah. Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan, namun sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral (struktur) dari pemerintahan colonial, dengan melaksanakan proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.



c. Kedudukan dan Pola Kerja Rakyat

http://www.ekonomirakyat.org/edisi_11/images/art6_gb1.gif

Skema dialektik hubungan ekonomi Indonesia di jaman Belanda



Tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah :

1) Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern

Pergantian dari sistem pemerintahan-pemerintahan yang tidak langsung yan gdulu dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa digantikan dengan pemerintahan modern yang tentu saja lebih mendekati kepada liberal karena rafles sendiri adalah seorang liberal. Penggantian pemerintahan tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh para pegawai-pegawai Eropa.



2) Pelaksanaan pemungutan sewa

Pelaksanaan pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian pajak tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa. Dalam mengatur pemungutan ini tiap-tipa kepala desa diberikan kebebaskan oleh VOC untuk menentukan berapa besar pajak yang harus dibayarkan oleh tiap-tiap kepala keluarga. pada masa sewa tanah hal ini digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan seluruh desa.



3) Pananaman tanaman dagangan untuk dieksport.

Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi yang merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman merekadi pasar bebas, karena para petani dibebaskan menjual sendiri tanaman yang mereka tanam.



Dua hal yang ingin dicapai oleh raffles melalui sistem sewa tanah ini adalah :

1) Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah.

2) Mengefektifkan sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumi akan mengenal ide-ide Eropa mengenai kejujuran, ekonomi, dan keadilan.



Kedudukan dan pola kerja rakyat pada masa sistem sewa tanah ini pada dasarnya tidak jauh berbeda pada masa sistem tanam paksa. Pada sistem sewa tanah rakyat tetap saja harus membayar pajak kepada pemerintah. Rakyat diposisikan sebagai penyewa tanah, karena tanah adalah milik pemerintah sehingga untuk memanfaatkan tanah tersebut untuk menghasilkan tanaman yang nantinya akan dijual dan uang yang didapatkan sebagian kemudian digunakan untuk membayar pajak dan sewa tanah tersebut. Pada masa ini sistem feodalisme dikurangi, sehingga para kepala adat yang dahulunya memdapatkan hak-hak atau pendapatan yang bisa dikatakan irasional, kemudian dikurangi.

Tetapi hal yang menghiasi sistem sewa tanah adalah pengaruh liberal yang dibawa oleh Raffles dan juga sikap anti Belandanya sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan belanda sebisa mungkin untuk dihindari. Pada masa sewa tanah ini pajak yang diserahkan bukan lagi berupa pajak perorangan dan berupa in-natura, terapi lebih kepada pajak perorangan.

Setiap orang dibebaskan menanam apa saja untuk tanaman ekspor, dan bebas menjualnya kepada siapa saja di pasar yang telah disediakan oleh pemerintah . Tetapi karena kecenderungan rakyat yang telah “terbiasa” dengan tanam paksa dimana mereka hanya menanam saja, untuk mernjual tanaman yang mereka tanam tentu saja mengalami kesulitan, sehingga mereka kemudian menyerahkan urusan menjual hasil pertaniana kepada para kepala-kepala desa untuk menjulanya di pasar bebas. Dan tentu saja hal ini berakibat pada banyaknya korupsi dan penyelewengan yang dilakukan oleh para kepala desa-kepala desa tersebut.



d. Tanaman dan Sistem Perdagangan

Terdapat banyak perbedaan dalam sistem sewa tanah dan tanam paksa. Perbedaaan itu juga dapat dilihat dari tanaman dan sistem perdagangan yang diterapkan. Pada sistem sewa tanah petani diberi kebebasan untuk menanam apapun yang mereka kehendaki. Namun gantinya rakyat mulai dibebani dengan sistem pajak. Kebebasan untuk menanam-tanaman tersebut tidak dapat dilaksanakan di semua daerah di pulau Jawa. Daerah-daerah milik swasta atau tanah partikelir dan daerah Parahyangan masih menggunakan sistem tanam wajib. Di Parahyangan Inggris enggan untuk mengganti penanaman kopi karena merupakan sumber keuntungan bagi kas negara.

Walaupun demikian pada sistem sewa tanah tanaman kopi mengalami penurunan hasil. Selain kopi, tanaman gula (tebu) juga mengalami kemunduran yang sama. sehingga pada sistem sewa tanah pemerintah hanya mampu mengekspor kopi dan beras dalam jumlah yang terbatas. Penurunan hasil-hasil tanaman ini dikarenakan petani Indonesia tidak begitu mengenal tanaman ekspor.

Sedangkan dalam sistem perdaganganpun sistem sewa tanah berbeda dengan sistem tanam paksa. Unsur-unsur paksaan digantikan dengan unsur kebebasan sukarela dan hubungan perjanjian atau kontrak. Sehingga pada sistem sewa tanah, rakyat selain diberikan kebebasan untuk menanam, mereka juga diberi kebebasan untuk melakukan perdagangan atau menjual tanaman mereka sendiri di pasaran bebas. Sistem perdagangan ini tidak efektif karena penjualan sering diserahkan rakyat kepada kepala desa mereka.

Penyerahan penjualan kepada kepala desa dikarenakan kurang pengalamannya petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasaran bebas. hal ini mengakibatkan kepala-kepala desa sering melakukan penipuan terhadap petani maupun pembeli, sehingga membuat pemerintah terpaksa ikut campur tangan dengan mengadakan penanaman paksa bagi tanaman perdagangan.



B. Sistem Taman Paksa

a. Faham yang Mendasari

Setelah sistem pajak tanah yang diberlakukan oleh Raffles, kemudian digantikan oleh sistem taman paksa. Tahun 1830, pemerintah Hindia-Belanda mengankat Gubernur Jenderal baru untuk Indonesia, yaitu Johanes van Den Bosch. Tugas utamanya untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung.

Sistem tanam paksa muncul karena pihak pemerintah Hindia-Belanda mengalami keadaan parah di bidang keuangan, dan juga budget pemeerintahan Hindia-Belanda dibebabi hutang-hutang yang besar. Belanda merasa tidak mampu menangtebungi masalah ini sendiri, sehingga muncul pikiran untuk mencari pemecahan di koloni-koloninya. Salah satunya Indonesia. Atas dasar itu maka sistem tanam paksa diperkenalkan oleh Van den Bocsh.

Dasranya sistem tanam paksa, selama zaman Belanda terkenal dengan nama culturstelsel, berarti pemulihan sistem eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dipraktekkan oleh VOC dahulu. Culturstelsel menganut paham konservatif yaitu dalam pelaksanaannya menggunakan tatanan feodal (menggunakan bantuan orang-orang lokal). Di mana desa menjadi mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat bangsa Indonesia, yaitu bupati atau regent (sebutan dari orang-orang Belanda). Bupati bertanggung jawab kepada pemerintah bangsa Eropa. Paham konservatif digunakan untuk menggantikan paham liberalisme yang dipandang tidak sesuai dengan struktur sosial yang sangat feodal di Jawa dengan segala ikatan-ikatan tradisionalnya. Pemerintah tidak sanggup menembusnya langsung berhubungan dengan rakyat secara perseorangan dan bebas.

Menurut Van den Bosch, paham konservatif secara langsung akan membentuk hubungan langsung antara pemerintah dan desa dengan melampaui peranan bupati sehingga perantara seperti hal yang berlaku pada masa VOC. Bupati hanya khusus mengawasi dan menjamin produksi atau disebut mandor. Sedangkan kepala desa bertanggung jawab untuk memenuhi target produksi. Bupati dan kepala desa dibayar dengan perhitungan persentase terhadap penyerahan-penyerahan komoditi pertanian, yang disebut kultur procenten (prosenan tanaman) yaitu jumlah sebesar prosenan tertentu dari harga hasil tanam paksa yang terkumpul di wilayahnya.



b. Perangkat pemerintah pelaksana

Salah satu akibat yang penting dari sistem tanam paksa adalah meluasnya bentuk milik tanah bersama ( milik komunal ). Hal ini disebabkan karena para pegawai pemerintah kolonial cenderung untuk memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka daam menetapkan tugas penanaman-penanaman paksa yang dibebankan pada tiap desa. Jika para pegawai pemerintah kolonial misalnya harus melakukan persetujuan-persetujuan yang terpisah dengan tiap-tiap petani yang memiliki tanah untuk memperoleh seperlima dari tiap-tiap bidang tanah mereka, maka hal ini sangat mempersulit pekerjaan mereka. Jauh lebih mudah untuk menetapkan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan.

Dibanding dengan penyerahan wajib ( contingenteringen ) yang dipaksakan VOC kepada penduduk, maka sistem tanam paksa menaruh beban yang lebih berat di atas pundak rakyat. Jika selama jaman VOC pelaksanaan penyerahan wajib diserahkan kepada kepala rakyat sendiri, maka selama sistem tanam paksa para pegawai Eropa dari pemerintah kolonoial langsung melaksanakan dan mengawasi penanaman paksa tersebut.

Hal ini sering berarti peningkatan efisiensi dari sistem tanam paksa, dalam arti kata bahwa hasil produksi tanaman dagangan dapat ditingkatkan berkat pengawasan dan campur tangan langsung dari pegawai Belanda tersebut. Di lain pihak peningkatan efisiensi ini tentu berarti menambah beban yang harus dipikul rakyat.

Untuk menjamin bahwa pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa menunaikan tugas mereka dengan baik, maka pemerintah kolonial memberikan perangsang finansial kepada mereka yang terkenal dengan nama cultuurprocenten, yang diberikan kepada mereka di samping pendapatan mereka. Cultuurprocenten ini merupakan presentasi tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman-tanaman ekspor tersebut yang diserahkan kepada pegawai Belanda, para bupati, dan kepala-kepala desa jika mereka berhasil dalam mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan tiap-tiap desa.

Cara-cara ini tentu menimbulkan banyak penyelewengan yang sangat menekan dan merugikan rakyat, karena pegawai-pegawai Belanda, maupun para bupati dan kepala-kepala desa mempunyai kepentingan mereka masing-masing. Akibat ketentuan ini para pegawai cenderung menjadi pegawai-pegawai yang buruk, karena tidak lagi menghiraukan rasa keadilan, mematikan rasa peri kemanusiaan, menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat dan tidak mengindahkan lagi kepentingan penduduk demi mementingkan kepentingan sendiri.



c. Kedudukan dan pola kerja rakyat

Menurut Van den Bosch, cultuurstelsel didasarkan atas dasar atas hukum adat yang dinyatakan barang siapa berkuasa disuatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Sebelum kedatangn Belanda, raja-raja di nusantara yang berkuasa serta memiliki tanah dan penduduk. Karena raja-raja di nusantara sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada Belanda. Pemerintah kolonial memanfaatkan para bupati dan kepala-kepala desa untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah kepada Belanda.

Rencana untuk memeras ekonomi Indonesia dilakukan dengan kedok agama dan adapt-istiadat rakyat, dan hubungan dengan pejabat tradisional seperti seperi raja, bupati, wedana maupun lurah. Kedudukan para pejabat tradisional digunakan oleh Belanda untuk memaksa rakyat bekerja sesuai dengan kehendak Belanda. Untuk mengarur hubungan kerja tersebut, maka dibuat perjanjian tentang pengaturan tenaga dan tanaman yang dikehendaki oleh Belanda. Setiap pejabat tradisional akan mendapat persen dari perjanjian tersebut: Rakyat patuh pada mereka, sebab mereka punya kharisma karena dan adat.

Guna menjamin agar para bupati dari kepala desa melaksanakan tugasnya dengan baik, pemerintah colonial memberikan perangsang yang disebut culture procenten disamping penghasilan tetap. Cultuur procenten adalah bonus, dalam prosentase tertentu yang diberikan kepada pegawai Belanda, para bupati, dan kepala desa apabila hasil produksi di suatau wilayah mencapai atau melampui target yang dibebankan. Cara-cara ini menimbulkan banyak penyelewengan yang sangat menekan dan dan merugikan rakyat.

Pada tahun 1830-1850 beban yang harus ditanggung oleh rakyat adalah kerja paksa. Pemerintah colonial mengerahkan tenaga rakyat untuk pembangunan dan pemeliharaan fasilitas umum,( Rodi untuk pemerintah Belanda) antar lain jalan raya, jembatan, dan waduk. Disamping itu, rakyat dikerahkan anta lain dalam pembangunan dan pemeliharaan rumah-rumah pegawai kolonial, mengatar surat dan barang, serta menjaga gudang. Rakyat yang tidak memiliki tanah dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selam 65 hari setiap tahun. Mereka juga ada yang mesti bekerja jauh dari desanya, dan mereka pula harus menyediakan makanannya sendiri sedang waktu untuk mengerjakan sawahnya habis sehingga persediaan makanan kurang sekali. Buruh yang seharusnya dibayar oleh oleh pemerintah dijadikan tenaga paksa, seperi di Rembang, Jawa Tengah. Kalaupun mereka dibayar mereka hanya dibayar sedikit. Sedangkan pajak atas tanah yang diambil mesti di bayar terus.



d. Tanaman dan Sistem Perdagangan

Jenis-jenis tanaman yang sangat dipentingkan ialah kopi, tebu, dan nila (indigo). Teh, tembakau, kayu manis, lada, ditanam juga. Penanaman lada mencapai pada tahun 1840, yang ditanam ialah 42800 bahu (sebahu 0,7 h.a.). Anak negeri yang bekerja untuk menghasilkan nila lebih dari 200.000 orang dan yang hasilnkan 2 juta poun, dalam 749 pabrik. Daerah pertama yang menjadi tempat penanaman nila ialah Parahyangan. Kemudian Cirebon juga mendapat tugas untuk menanam nila. Tanah menjadi keirng karena penanaman nila, sehingga lebih baik ditanam tebu. Pada tahun 1839 yang ditanami tebu 27.000 bahu. Pada tahun 1842 telah naik menjadi 37.000 bahu. Pada tahun 1850 dihasilkan 1.400.000 pikul. Milik pemerintah Hindia-Belanda 1.000.000 pikul seharga f 10.000.000, selebihnya dihasilkan di tanah-tanah partikulir dan di Surakarta serta Yogyakarta. Kopi makin bnayak laku di Eropa dank arena itu penanaman kopi diperluas. Dalam musim 1834-1835 ditanam 25.600.000 pohon kopi diseluruh Jawa dan dalam musim 1835-1836 ditanam 29.200.000. Pohon-pohon itu ditanam oleh anak negeri dengan tidak memperoleh bayaran dan mereka juga memelihara dengan tidak mendapat upah jerih. Hasilnya jauh di bawah buahnya, karena kekurangan tangan. Semenjak tahun 1840 dihasilkan lebih kurang 1.000.000 pikul setahun.

Telah diterangkan sebelumnya bahwa tanamn-tanaman yang wajib ditanamjuga selain kopi, tebu, dan nila, juga terdapat tanaman lain, yaitu teh. Dalam penanaman ini teh tidak seberapa untungnya. Pada tahun 1839 ada 8.000.000 rumpun teh. Enam tahun kemudian 20.000.000 rumpun. Hasil yang diperoleh 900.000 pound. Hasil dari cochenille (bahan warna merah dari semacam serangga) tidak lebih dari 81.00 pound ditahun 1850, kayu manis yang pada mulanya hanya ditanam di Krawang, jua ditanam di daerah-daerah lain. Pada tahun 1840 ada 1.700.000 pohon. Yang mengerjakannya 7000 keluarga. Pada tahun 1850, 10.000 keluarga. Mereka menghasilkan 200.000 pound. Penanaman tembakau dimulai di Rembang, Kedu, Pasuruan, dan Banyuwangi. Jumlah kebun tembakau menjadi 37, luasnya 4000 bahu. Keluarga yang bekerja di situ 37.000.

Dalam culturstelsel ini sangat menguntugkan pemerintah Hindia-Belanda, dari hasil penanaman ini dapat menutupi semua hutang-hutang. Dan sistem tanam paksa ini dijadikan sebagai suatu pengaturan kehidupan ekonomi di Hindia-Belanda yang diselenggarakan untuk menunjang dan meningkatkan tingkat kemakmuran negeri Belanda.

0 komentar:

Posting Komentar